SD mana yang tidak memperkenalkan siswanya dengan ungkapan “Apalah arti sebuah nama”? (Ini bukan pertanyaan retorik. Saya nanya beneran – red)
Belum lama saja saya tersadar ungkapan itu datang dari seorang William Shakespeare: “What’s in a name? That which we call rose by any other name would smell as sweet”. Yang kurang lebih diartikan: Apalah arti sebuah nama? Mau dikasih nama apa juga dia tetap wangi.
Betul?
Betul.
Di persimpangan kehidupan lain, entah kapan dan di mana.. saya dikenalkan juga dengan ungkapan yang tidak kalah dahsyat: “Nama adalah doa”.
I mean.. wtf bro. Gini nih kalo dunia kebanyakan pujangga. Mind blown berkali-kali kan capek ya.
Seringkali saya setuju dengan Shakespeare. Kurang lebih salah satunya karena percakapan dengan rekan saya ini:
Tenang. Identitas rekan saya aman. Budi memang bukan nama samaran. Tapi at least nama lengkapnya gak saya kasih tau ke kalian. (Oh wait..)
Kebayang ya jadi Budi; cuma karena namanya satu kata bisa diribetin tiap kali dia ke luar negeri. Memang sih tiap negara punya aturan masing-masing.. tapi apa mereka gak nonton Romeo & Juliet? Shakespeare, dude. Besok-besok akan saya sampaikan ide argumen ketika Budi di depan mbak-mbak berseragam rapi yang duduk di meja imigrasi lalu mempermasalahkan namanya. Lempar aja ungkapan: “Apa lah arti sebuah nama?”.
Not sure it would work though. Poor, Budi. Sabar ya, Bud š¦
Belakangan saya pun baru tau kalo Budi sekeluarga punya nama hanya satu kata.
Sabar ya, keluarga Budi. Akan ada masanya petugas imigrasi membaca Shakespeare.
====================================
Di kesempatan lain saya terngiang-ngiang apa kata bapak saya: “Nama adalah doa”.
Katanya, ada riset yang hasilnya: sebuah nama bisa mempengaruhi berbagai hal seperti kesuksesan hingga popularitasnya di masa depan. Singkatnya, penamaan ke anak mempengaruhi cara pandang orang lain terhadap anak tersebut. Baik terkait suku, ras, jenis nama daaaan sebagainya. Bla bla bla coba deh guglang gugling tentang ini; ternyata ada juga ya yang beneran meneliti hal ini.
Balik lagi.. Belakangan hestek #SobatKismin merajalela. To be fair, saya paham itu bercanda. Mana ada seorang sobat mau doakan sobatnya sendiri untuk menjadi miskin. Ya kecuali seperti saya yang netizen ini. Jangan percaya netizen. Kami melempar kata demi retweet.
Pengakuan: saya ‘rada’ terganggu bahasa “Sobat Kismin”. Tapi ya udah. Tapi ya triggered juga makanya ada blog ini. Tapi ya udah. (Please do note pada penekanan kata ‘rada’)
Jadi ceritanya saya mencoba menelaah juga tiap kali sekelibat baca “Sobat Kismin”; apa kira-kira intensinya. Karena dibalik perbuatan, selalu ada niat kan? Di situ lah yang saya coba tebak-tebak. Action vs Intention. Lalu saya padukan ke konteks. Kalo sekiranya penilaian akhir saya menebak gak ada maksud yang gimana-gimana: Ya udah lah.
Kadang dunia perlu “Ya udah lah” lebih banyak sebagai sikap. Saya paham.
====================================
Lalu apa inti tulisan ini?
Gak ada. Ngapain juga saya menentang Shakespeare. Tapi apa kata orangtua, kan perlu didengar juga ehhe.
====================================
Saya juga mau bilang sering dipanggil “WOY, NYET!” sama sahabat.
Saya nengok.