Capturing Without Prejudice

Saya suka foto-foto..
Saya pun senang jalan-jalan.. (well, who doesn’t?)

Dari 2 kesenangan tersebut lahirlah berbagai foto hasil dari “jalan-jalan”.

Satu ketika, saya tidak punya banyak waktu (dan uang) untuk jalan-jalan.
Lucunya, hobi foto-foto saya seakan berhenti juga..
Sekali-sekali posting instagram pun stok-stok foto lama, kamera mendadak berdebu, handphone cuma kepake untuk twitter-an.

So all of the sudden.. I wondered why?

So I had this theory, it might not be true.. but hey, if it might not be true, it might not be wrong as well:

Tanpa sadar, saya sempat punya pemikiran kalau foto yang bagus sangat tergantung pada tujuan, lokasi, di mana saya berada.. Dan itu bisa “banyak” didapatkan ketika sedang bepergian.

Pertanyaannya saat itu, ketika saya di “rumah” saja.. would I stop doing what I also love, which is capturing things around with my phone or camera?

DUH.. NOOOO.
I don’t wanna do that.
I don’t wannabe that.

Lalu saya ambil kamera yang sudah penuh debu, lalu mulai (kepingin) foto-foto apapun yang ada di rumah. I don’t care. I should do something.

But how?
I’m not really good at making moments of the stuffs that don’t breathe.
Or things that aren’t mountains or oceans..

So I sit for a while.. took a deep breath.. and started browsing Instagram.
For the sake of getting inspiration.

After minutes..
I started producing things.. It was not that good, but I was really proud of myself.

2014_0625_21190500_1[1]

I’ve learned something.
Which says that I have to learn a lot about photography without prejudice.
Even the small cup of coffee may delight my eyes.. let alone people’s eyes.. it’s for their own to decide.

I’ve learned that sometimes we should push a daily object to pull out the beauty inside by pushing the limitation of ourselves.

Hope you got my point.

Bicara tentang belajar photography without prejudice, ternyata bisa “memaksa” kita untuk lebih socially aware, lebih sensitif sama keadaan sekitar, lebih berusaha menggali.. there must be something more of a thing or even someone.

Bisa melatih observasi, menemukan hal-hal baik di antara yang buruk, mulai melihat hal-hal indah dari yang biasa-biasa saja.

It’s a good thing, kan?
Dan kabar baiknya.. gak cuma berlaku untuk fotografi, tapi juga kehidupan.

Btw.. after my first attempt of making moments of cups. Saya ketagihan, dan muncul lah beberapa percobaan angle secangkir kopi (or tea) pagi untuk kemudian dengan senangnya share to instagram:
PhotoGrid_1406713798592[1]

Lalu kemudian berhenti posting setelah ambil foto ini:
2014_0626_20152400_1_1[1]

Because, you know.. Eva Arnaz moment.

Advertisement

AZAB!!!

Semalam hujan turun lumayan lebat di Jakarta dan sekitarnya. Menjelang hari lebaran malah ada rumah, pasar ataupun jalan yang kebanjiran. Dan di kondisi seperti ini biasanya ada aja tuh yang for the sake of comments langsung dengan entengnya bilang: “Ini azab Tuhan!!”

E ya gusti.

Kalo kita ingat-ingat track record yang lalu-lalu, memang gampang aja kita temukan orang-orang yang “dengan bijak”-nya mengkaitkan segala peristiwa alam dengan kata azab. Gak usah jauh-jauh, kemungkinan orang yang dekat di sekitar kita pun dengan polosnya berpendapat demikian.

Mau lebih dekat lagi, di hape kita pun ada, tinggal googling aja:
Screenshot_2014-07-27-09-25-34_1[1]
Screenshot_2014-07-27-09-24-00_1[1]

Tuh.. ya kan?
Mau dari temen kantor, temen main, tetangga atau malah kadang-kadang ustadz ataupun petinggi agama seperti ulama yang enteng aja mengkaitkan bencana alam dengan azab Tuhan. Ughhh.. Let alone twitterians.

Tapi salah gak sih pendapat itu?
Considering dilihat dari track record-nya, Tuhan memang jelas-jelas menurunkan bencana alam sebagai bagian dari proses “cleansing”. Let’s say air bah jaman Nabi Nuh ataupun kisah Sodom & Gomorah.

Oh mengingat cerita-cerita itupun kita jadi agak kalut bukan ya?
“Jangan-jangan.. memang bener bencana alam itu bagian dari peringatan”
“Jangan-jangan.. memang Tuhan lagi sentil kita”
“Jangan-jangan..”
“Jangan-jangan..”

Sah gak dilema itu?
Saaaahhhh.

Untuk orang yang beragama, kemungkinan besar memang hal ini akan dilematis. Mau dibilang banjir Jakarta misalnya.. karena kesalahan manusia, ya gak salah. Mau bilang kita sedang diperingatin Tuhan.. juga kepikiran pastinya. Dan itu sah-sah aja..

Sebenernya yang kurang sah (dan tsaaah) itu adalah how we deliver our opinion about that particular circumstances.

Kadang kita dengan entengnya mengeluarkan pernyataan:
“Oh, hape lo kecopetan ya.. mungkin lu kurang amal”,
“Waaah, lu sakit typhus? Makanya jangan kerja mulu. Ibadah juga jangan ditinggalin”
atau
“Ya gimana enggak Jakarta kebanjiran, maksiat semua sih orangnya”.
And so on and so on..

Well that my friend, kind of judgmental and arrogant.
And maybe I was part of that. Saya menyesal.
Kita suka lupa di saat kita kesusahan, most likely kita butuh perhatian instead of celaan.. kita butuh doa instead of vonis azab.. kita butuh teman instead of preachers..

Hal yang sama berlaku dengan bencana yang sifatnya lebih massive saya rasa.

Mungkin gak salah kalau satu periode kita kurang amal, kurang ibadah, banyak melakukan salah.. Mungkin juga memang Tuhan sedang kasih peringatan.. But it would be so nice if people would leave that alone between us and God himself.

Saya jadi mau cerita satu hal.
Di saat Jakarta kebanjiran besar beberapa saat lalu..
Euphoria azab bertebaran di mana-mana.

Ada satu ustadz yang dengan bijaknya tidak mengeluarkan statement kalau banjir besar ini adalah azab dari Tuhan.. Usut punya usut, rumahnya kebanjiran juga.

Duh. Kirain.

Reframe a photo. Reframe your life.

Tadinya fotonya begini:
Athens
Untuk keperluan instagram jadi begini:
IMG_20140720_075727[1]

Awalnya begini:
Rome

Saya re-frame jadi gini:
IMG_20140719_141154[1]

Mmm.. what I’m about to tell you is we can always find something in an unorganized beauty of a picture that we’ve taken.
Saya pun baru sadar itu sih setelah keabisan foto-foto untuk di-upload ke instagram. Bikin otak dan mata lebih jeli lagi untuk reproduce something untuk dikonsumsi mata.

Saya bukan fotografer, jadi harus pake kata “kalo gak salah”.. well.. kalo gak salah kerjaan nge-crop itu namanya reframing.

Pertanyaannya.. sah gak sih nge-reframe gitu lalu di-upload?
Menurut saya sah-sah aja dengan alasan:
1. Itu foto.. kita yang punya
2. Ketika kita zoom in ato zoom out di kamera ato hape, itu juga framing
3. Apa yang kita crop kan memang bagian dari 1 ataupun banyak moment
4. Kondisi di mana kita mau berikan penekanan pada satu scene

Alasan no 4 sebenernya juga 1 tujuan ketika saya re-frame suatu foto. Pingin emphasize satu moment/scene dari hal-hal yang bisa menyebabkan distraksi.
Meaning begini, kalau kita liat foto no 1, mata seakan bingung harus fokus ke mana dulu.. ke polisi? ke taxi? ke mobil bak? Ataupun jeleknya mata malah fokus ke hal yang sebenernya kurang penting seperti motor-motor di sebelah kanan.

Sewaktu saya akan ambil foto no 1, taxi adalah objek yang seketika menarik perhatian. Tapi berhubung berada di bus yang sedang berjalan, saya putuskan untuk take the guts dan abadikan the whole moment untuk dipikirkan selanjutnya framing-nya: mana yang di-crop, mana yang dibuang.. gitulah kasarnya.

Sebagai orang yang senengnya snap shot, reframing ini penting banget rasanya. Kondisi yang mengharuskan “buru-buru biar gak keilangan moment” sebetulnya juga ngasah sense kita untuk framing secara cepat. Kalo bisa, gak perlu reframe lagi.. Kalo gagal, ya coba reframe aja kan yaaa.

ANYWAAAAAAAY..

Sempet kepikir juga kalo konsep reframe ini gak cuma berlaku spesifik untuk poto-potoan doang. Kalo mau dipikir lagi, gimana cara kita lihat satu kondisi atau permasalahan dalam hidup pun kayaknya bisa dipake nih.

But how?

Kalo saya sih liatnya kita banyak temuin unorganized things dalam hidup. Contoh kecil ketika kita mau putuskan untuk beli hape. Sedemikian banyak pilihan hape yang bagus-bagus dengan berbagai fitur, harga, bentuk dsb dsb..

Kalau kita terbiasa meng-kerucutkan (what the hell is mengkerucutkan – red) cara pandang.. kita tau harus fokus akan apa yang kita mau, berbagai pilihan yang gak penting akan tersisih dengan penuh keikhlasan. Oh kita gak butuh kamera depan yang canggih, oh gak butuh koneksi LTE, oh tetep butuh physical keyboard, o yang penting bisa sms dan nelpon..

VOILA.. Nokia Pisang.

Gitu ya.. ya.. ya..
Semoga manfaat.

PILOT

Saya sadar sekali, hal tersulit dalam melakukan sesuatu adalah memulainya.

Dalam keseharian, penundaan biasa kita lakukan sebagai “excuse” akan kemalasan.

Simple saja, bahkan dari awal alarm pagi berbunyi, snooze button seakan menyuarakan suara hati terdalam.. which is “5 menit lagi ah..”. Atau ada yang enggak? Well congratulation.. You’re weird.

Yang kadang kita lupa, waktu 5 menit itu bisa dimanfaatkan untuk.. umm well.. buang air kecil, beresin tempat tidur.. atau gak usah jauh-jauh: ngulet-ngulet lucu di atas kasur instead of tidur lagi yang sebenernya gak jauh beda juga impact-nya kalo cuma 5 menit.

Actually all of the above is my prelude of letting you all know that I’m about to start my blog. No more excuse..

Please don’t expect something so deep, bahasan berat, specific theme, ataupun.. kualitas :))
Random might be suitable to describe.